Jatuhnya Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 rute Jakarta-Pontianak. Hal tersebut membuat keselamatan dunia penerbangan Indonesia kembali menjadi sorotan berbagai pihak.
Selama dekade terakhir, Indonesia telah menjadi pasar penerbangan paling mematikan di dunia, 'Mengungguli’ Rusia, Iran dan Pakistan oleh Jaringan Keamanan Penerbangan.
Ada total 697 kematian dalam kecelakaan pesawat dalam dekade itu, termasuk pesawat pribadi dan militer, Reuters melaporkan.
Dua kecelakaan mematikan dalam dekade itu, yakni kecelakaan Air Asia Indonesia dengan nomor penerbangan QZ8501 di perairan Laut Jawa, terbunuh 155 penumpang dan 7 anggota kru pada bulan Desember 28, 2014.
Dan, di 2018 Lion Air JT 610 kecelakaan pesawat tewas 189 penumpang dan awak kabin.
Dari 2007 untuk 2018, Uni Eropa melarang penerbangan dari maskapai Indonesia, setelah serangkaian kecelakaan, serta memperburuk laporan pengawasan dan pemeliharaan.
Sementara itu, Amerika Serikat menurunkan evaluasi keselamatan penerbangan Indonesia ke kategori 2 (sistem regulasi tidak memadai) dari 2007 untuk 2016.
Namun, Dalam beberapa tahun terakhir catatan keselamatan penerbangan di Indonesia mengalami peningkatan. Bahkan mendapat apresiasi dari Badan Penerbangan Sipil Internasional PBB (ICAO).
“Kecelakaan hari Sabtu tidak ada hubungannya dengan (Boeing 737) Max. Namun, Boeing harus memandu Indonesia, yang memiliki catatan keselamatan penerbangan tidak stabil, untuk memulihkan kepercayaan pada industri penerbangannya,” kata Kepala Konsultan Penerbangan Endau Analytics yang berbasis di Malaysia Shukor Yusof. meluncurkan Reuters.
Sementara itu, Pakar investigasi kecelakaan udara yang berbasis di Australia Geoff Dell mengatakan para penyelidik akan melihat faktor-faktor termasuk kegagalan mekanis, tindakan percontohan, catatan pemeliharaan, kondisi cuaca dan apakah ada gangguan yang melanggar hukum dengan pesawat. Kebanyakan kecelakaan udara disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan.
“Ada banyak pendapat yang dibuat tentang kecepatan penurunan terakhirnya. Itu adalah indikasi dari apa yang terjadi, tetapi mengapa hal itu terjadi masih menjadi pertanyaan dalam banyak hal. Ada banyak cara untuk menurunkan pesawat dengan kecepatan tersebut,” dia menjelaskan.
Di kesempatan berbeda, Redaktur Eksekutif FlightGlobal menambahkan, catatan operasional Sriwijaya Air juga perlu dicermati. Menurut dia, selama 2008-2017 Sriwijaya Air telah mengistirahatkan empat Boeing 737 armada.
“Akibat pendaratan yang buruk dan mengakibatkan pesawat keluar dari landasan, termasuk dalam 2008 yang mengakibatkan kematian dan 14 cedera,” dia berkata.
Diskusi tentang posting ini