Seorang selebriti yang juga seorang pebisnis, Raffi Ahmad |, adalah bagian dari gelombang paling awal penerima vaksin COVID-19 China, Sinovac, dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pihak berwenang mengatakan Raffi mewakili generasi muda. Media sosial ramai mempertanyakan kenapa Raffi dipilih mewakili generasi muda juga. Kisah Elvis Presley yang divaksinasi polio mungkin menggambarkan mengapa hal ini berpengaruh penting.
Juru bicara Penanganan COVID-19, Dokter Reisa Broto Asmoro mengatakan Raffi dipilih karena pengaruhnya. Aparat yakin Raffi mampu menginspirasi publik, terutama generasi muda, untuk mematuhi program vaksinasi COVID-19.
“Raffi Ahmad sebagai perwakilan kaum milenial, Sehingga ia bisa menjadi inspirasi untuk percaya pada vaksin dan berkontribusi bagi kesuksesan vaksinasi di Indonesia,” kata Reisa pada hari Rabu, Januari 13.
Raffi, setelah disuntik dengan vaksin, dia berbagi pengalaman yang baru saja dia alami. Menurut Raffi, vaksinasi yang dijalaninya berjalan dengan baik. Raffi mengaku tidak merasakan apa-apa, kecuali reaksi jarum suntik di kulitnya.
Dia juga menjelaskan bahwa otoritas kesehatan memantau dengan cermat reaksi setelah suntikan 30 menit. Pendiri Rans Entertainment tersebut mengaku senang bisa diajak vaksin bersama Jokowi. Selain Raffi, Sejumlah tokoh lain juga dilibatkan dalam upacara penyuntikan vaksin.
Mereka termasuk Dokter Daeng M.. Fakih, Ketua IDI; Sekretaris Jenderal MUI Dokter Amiesyah Tambunan. Untuk Raffi, Dia bahkan telah memulai fungsinya untuk mempengaruhi dari mencapai Istana.
Raffi, di media sosialnya, mengunggah foto undangan dari Istana. Undangan juga diisi dengan sejumlah peraturan sebelum hadir, seperti menyertakan hasil swab PCR terbaru. Di dalam foto, Raffi juga mengenakan masker kain tiga lapis plus pelindung wajah.
Peran Raffi dalam menginspirasi orang-orang sejati langsung dijalankan sejak ia tiba di Istana Negara, Jakarta.
Raffi mengunggah foto undangan yang juga diisi sejumlah peraturan sebelum hadir. Raffi Ahmad pun menunjukkan kartu biru bertuliskan “Vaksinasi Pertama COVID-19 di Istana Kepresidenan, Januari 13, 2021.
Sebenarnya, logika ini tidak terlalu sulit untuk dicerna. Namun bagi mereka yang terlihat bingung dengan langkah pemerintah mengundang Raffi untuk melakukan vaksinasi bersama Jokowi, kita bisa belajar dari kisah Elvis Presley di tengah wabah polio.
Pada waktu itu, di tahun 1940-an, wabah polio pecah. Rata-rata setiap tahun epidemi melumpuhkan lebih dari 35 seribu orang. Di 1952, terinfeksi wabah ini 60 seribu orang dan membunuh tiga ribu dari mereka.
Di 1955, orang tua mulai menyuntik anak-anak mereka dengan vaksin Jonas Salk yang baru diperkenalkan. Masalahnya adalah kelompok demografis remaja dan dewasa muda. Mereka enggan disuntik.
Oktober 28, 1956, Elvis dijadwalkan tampil di The Ed Sullivan Show. Itu adalah penampilan kedua Elvis di variety show. Sebelum naik panggung, Elvis berpose untuk pers di mana dia menerima suntikan vaksin polio.
Ratusan surat kabar di seluruh negeri mencatat peristiwa bersejarah ini dan menerbitkan laporan secara nasional. Elvis tampak bertekad. Dia tersenyum saat berfoto dengan dokter.
Pelaporan dari Majalah Smithsonian, pejabat kesehatan sengaja merekrut Elvis, yang ketenarannya meroket tahun itu, dengan gerakan pinggul, rock n roll hums, dan ketampanan. Elvis adalah seorang idola, terutama untuk remaja Amerika.
“Dia menjadi panutan yang baik bagi kaum muda negara,” kata komisaris kesehatan New York City, Leona Baumgartner.
The New York Times melaporkan hal itu satu hari setelah kemunculan Elvis di televisi, hanya 10 persen remaja Kota New York divaksinasi. Faktanya, setelah anak-anak, remaja merupakan kelompok yang paling rentan terhadap polio.
Antara 1955 dan 1957, kasus polio dilaporkan telah menurun di Amerika Serikat. The percentage of reduction reached 81 persen, dari 28,985 untuk 5,485. Elvis’ pre-show inoculation was considered influential.
Stephen Mawdsley, an expert on modern American history from the University of Bristol, kata, “Elvis is definitely helping teens make vaccine decisions.”
Walaupun demikian, Mawdsley explained, Elvis might wake up vaccine awareness, but the spread of the vaccination movement could be caused by the teenagers themselves.
The National Foundation for Infantile Paralysis (NFIP), which later changed its name to the March of Dimes, said that at that time some youths formed a group called Teens Against Polio (TAP).
Teens Against Polio (TAP) and other vaccination mobilization efforts faced major obstacles at that time.
Researchers, Agnes Arnold-Forster and Caitjan Gainty, one of the obstacles to vaccination at that time cost.
Imagine, at that time everyone had to get three shots of the vaccine to achieve immunity. Each of these vaccinations costs at least US $ 3 untuk 5 – sekitar USD 30-50 in addition to today’s exchange rate.
For families with large numbers of children, the expenses are so heavy. Many parents are starting to run short of money and can only choose one or two injections. Tentu saja, this is in vain, because polio immunity can only be achieved with three injections.
Teenagers raise different problems. Many of them view polio as a childhood disease. Adding to this was the 1955 mowing incident.
Pada waktu itu, a failed vaccine caused 40,000 cases of polio. Of those affected, about two hundred suffered from some degree of paralysis. Ten others died.
“Cost, apathy, and ignorance are serious setbacks for eradication efforts,” Mawdsley told Politico.
To change their peers’ perceptions of vaccines, TAP members used a variety of methods, including producing pamphlets with catchy slogans, seperti “Don’t Balk on Salk.”
TAP also works with public health officials to subsidize injection costs and holds public events highlighting the ease of getting vaccinated.
“This shows almost for the first time, the power of adolescents in understanding and connecting with their own demographics,” Mawdsley, in a 2016 interview with Observer.
Diskusi tentang posting ini