Tak Hanya Cegah Anemia, Zat Besi Ternyata Miliki Peran Krusial pada Perkembangan Otak Anak

Tak Hanya Cegah Anemia, Zat Besi Ternyata Miliki Peran Krusial pada Perkembangan Otak Anak - Image Caption
News24xx.com - Anemia defisiensi besi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada anak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Merujuk data Badan Kesehatan Dunia atau WHO, saat ini sekitar 42 persen anak di berbagai negara mengalami anemia defisiensi besi (ADB).
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan sekitar 28,1 persen anak mengalami ADB. Survei ini juga menunjukkan bahwa ADB pada bayi berusia 0-6 bulan mencapai 61,3 persen, bayi berusia 6-12 bulan tercatat 64,8 persen dan anak balita tercatat 48,1 persen.
“Jadi bayi dengan rentang usia 6-12 bulan, atau pasca ASI ekslusif ternyata paling banyak menderita ADB,” ujar dr. Efrianty, SpK, M.Kes, dokter spesialis anak RSU Andhika, Jakarta Selatan pada Talkshow Edukasi Publik Pentingnya Zat Besi bagi Anak untuk Membantu Perkembangan Otak & Mencegah Anemia yang digelar RSU Andhika pada Sabtu (16/8/2025).
Diakui dr Efrianty, risiko ADB pada bayi memang lebih tinggi. Penyebabnya antara lain, pertama pertumbuhan yang cepat. Pada fase ini, bayi membutuhkan banyak zat besi untuk membentuk darah dan mendukung perkembangan otaknya.
Kedua, asupan zat besi yang kurang. Seringkali makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi, apalagi jika pola makan lebih banyak karbohidrat dibanding protein hewani atau sayuran hijau.
Ketiga, penyerapan yang belum optimal. Sistem pencernaan balita belum seefisien orang dewasa dalam menyerap zat besi.
Kekurangan zat besi ini, lanjut dr. Efrianty tidak boleh diabaikan. Sebab kurang zat besi pada anak dapat menurunkan kecerdasan dan IQ. “Otak yang kekurangan oksigen dapat menghambat metabolisme otak. Ini akan mengganggu pembentukan mielin, yakni selubung pelindung saraf yang membantu sinyal otak berjalan cepat. Tanpa mielin yang cukup, kecepatan dan kualitas pengiriman pesan ke otak akan menurun,” ujarnya.
Dampak lainnya, produksi neurotrasmiter berkurang. “Zat besi dibutuhkan untuk membuat zat kimia otak seperti dopamin dan serotonin yang berperan dalam konsentrasi, memori dan emosi,” kata dr Efrianty.
Lantas bagaimana memastikan bahwa asupan zat besi pada anak bisa tercukupi? Pola konsumsi anak menurut dr Efrianty memegang peranan paling krusial. Konsumsi makanan dengan kandungan zat besi yang tinggi dapat menghindari ADB.
“Zat besi ini bisa ditemukan pada beberapa jenis pangan seperti daging merah, hati ayam atau sapi, ikan, sayuran hijau, kacang-kacangan, buah-buahan dan susu pertumbuhan,” lanjut dr. Efrianty.
Untuk melengkapi asupan zat besi pada anak usia 1-5 tahun, IDAI merekomendasikan pemberian susu sebanyak 2-3 gelas per hari atau sekitar 400-600 ml. Susu pertumbuhan dapat menjadi pelengkap nutrisi yang tidak tercukupi dari MPASI rumahan. Pemberian susu pertumbuhan yang mengandung DHA, omega 3 & 6, kolin, taurin, protein, kalsium dan lainnya sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan otak si kecil.
“Susu pertumbuhan mudah dicerna dan praktis, cocok untuk anak yang susah makan, picky eater, atau dalam masa pemulihan setelah sakit,” katanya.
Pentingnya Fortifikasi Pangan
Namun sayangnya, untuk memastikan bahwa asupan zat besi yang diperoleh anak melalui pangan bukanlah persoalan mudah. Teknik pemberian makan yang kurang tepat, dapat membuat penyerapan zat besi kurang optimal. Termasuk juga jumlah makanan yang harus dikonsumsi anak untuk mendapatkan angka ideal asupan zat besi harian.
Karena itu, fortifikasi pangan dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa asupan zat besi pada anak sudah mencukupi. Fortifikasi itu sendiri merupakan proses penambahan vitamin, mineral, atau zat gizi lain ke dalam makanan untuk meningkatkan nilai gizinya dan mencegah kekurangan zat tertentu pada masyarakat. Fortifikasi ini bisa dilakukan untuk makanan pendamping ASI (MPASI).
“Artinya jika MPASI difortifikasi maka makanan ini sudah diperkaya zat gizi tambahan seperti zat besi, zinc, vitamin A, atau asam folat yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak,” kata dr. Efrianty.
Beberapa contoh MPASI fortifikasi adalah sereal bayi yang diperkaya zat besi dan vitamin B kompleks, bubur instan fortifikasi untuk balita, susu pertumbuhan yang diperkaya zat besi, kalsium dan vitamin D, garam beryodium untuk mencegah gondok serta margarin yang sudah diperkaya vitamin A dan D.
Peran penting makanan dan minuman fortifikasi di masa MPASI ini juga disampaikan Nur Reeza Rizkyana, S.Gz, ahli gizi RSU Andhika. Dalam paparannya, ia mengatakan bayi yang berusia 6 bulan membutuhkan nutrisi lebih banyak dan ini tidak bisa dipenuhi oleh ASI. Pada masa ini bayi membutuhkan asupan nutrisi tambahan yang mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan otak serta daya tahan tubuh.
“MPASI fortifikasi berperan mencegah kekurangan mikronutrien, mendukung pertumbuhan dan perkembangan otak, meningkatkan daya tahan tubuh dan membantu pembentukan pola makan sehat sejak dini,” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan terdapat dua jenis zat besi yang diserap oleh tubuh yaitu heme-iron yang berasal dari produk hewani dan non heme-iron yang berasal dari tumbuhan. Agar proses penyerapan dua jenis zat besi tersebut optimal, dibutuhkan asupan vitamin C dalam jumlah mencukupi.
“Vitamin C berperan mengubah zat besi non-heme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh tubuh,” jelas Nur Reeza.
Beberapa strategi perlu dilakukan orang tua agar penyerapan zat besi pada asupan makan anak bisa lebih optimal. Misalnya, berikan makanan kaya zat besi dalam beberapa waktu makan, sertakan vitamin C di setiap sumber zat besi, hindari pemberian teh waktu makan, atur jadwal minum susu, dan berikan camilan sehat kaya zat besi.
Kenali Tanda ADB pada Anak
Aktivitas anak yang tinggi kata dr. Efrianty seringkali menyulitkan orang tua untuk mendeteksi ADB. Anak dengan muka pucat misalnya banyak dihubungkan dengan kelelahan akibat aktivitas fisik. Padahal adakalanya itu merupakan gejala awal dari ADB.
Untuk mengenali apakah anak mengalami ADB atau tidak, menurut dr. Efrianty, bisa dideteksi melalui gejala-gejala antara lain anak sangat pucat tidak hanya di kulit tetapi juga bibir, gusi, dan bagian dalam kelopak mata. Lalu mengalami lemas ekstrem, sesak nafas & jantung berdebar, pusing atau sering pingsan, perubahan perilaku secara dramatis seperti rewel terus, pertumbuhan terhambat dan gangguan belajar atau sulit konsentrasi.
“Jika menemukan tanda-tanda seperti itu, sebaiknya segera dibawa untuk berkonsultasi dengan dokter. Penanganan yang cepat dan tepat akan dapat menghindari dampak buruk terhadap masa depan kesehatan anak,” ujarnya.
Dengan memastikan anak mendapatkan asupan zat besi yang cukup melalui makanan dan/atau suplemen, orang tua dapat membantu anak untuk tumbuh menjadi anak yang cerdas, sehat dan aktif. ***