Puluhan Triliun Beli Alat Canggih Intelijen, Tak Mampu Cegah Provokasi Unjuk Rasa

Puluhan Triliun Beli Alat Canggih Intelijen, Tak Mampu Cegah Provokasi Unjuk Rasa - Image Caption


News24xx.com - Sejak tanggal 25 Agustus 2025, publik tanah air dihebohkan dengan adanya sejumlah unjukrasa anarkis disertai perusakan dan penjarahan.

Unjuk rasa kali ini sama dengan tahun 1998. Yang membedakan, era 1998 tanpa teknologi canggih dengan era sekarang yakni masa dengan penuh teknologi canggih.

Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan, minimnya teknologi pengawasan pada 1998, karena alat pengawasan yang digunakan sangat terbatas, hanya mengandalkan intelijen konvensional seperti informan dan pengamatan fisik.

Berbeda dengan sekarang, yang serba canggih. Dapat memantau komunikasi digital dalam kerangka unjuk rasa secara real-time.
“Dampak ketiadaan teknologi menyebabkan aparat kesulitan mendeteksi provokator atau mengantisipasi kerusuhan.
Kerusuhan 1998 versus kerusuhan era serba canggih sekarang,” kata Iskandar Selasa 2 September 2025.

Berdasarkan data, kerusuhan Mei 1998 mengakibatkan 1.200 korban jiwa, perusakan 2.500 bangunan, dan kerugian ekonomi mencapai Rp 2,5 triliun. “Saat itu, isu etnis sebagai kambing hitam untuk mengalihkan perhatian dari krisis ekonomi. Tanpa alat deteksi dini, narasi isu itu menyebar cepat dan memicu kekerasan massal,” ujarnya.

Menurut Iskandar, dari 2017 hingga 2025, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berkali-kali menyalakan alarm soal pengadaan peralatan intelijen di berbagai instansi negara. Temuan-temuan ini menunjukkan pola yang berulang, anggaran besar, istilah pengadaan yang samar, dan minim transparansi.

Data IAW, tahun 2017, Kepolisian RI dan Kementerian Pertahanan pada IHPS I 2017 No. 56/LHP/XVI/05/2017, BPK menemukan 8.323 kasus ketidakpatuhan senilai Rp30,87 triliun di 86 kementerian/lembaga. Salah satunya pengadaan “peralatan khusus” dan “komunikasi taktis” yang tanpa spesifikasi jelas.

Pada tahun 2018, Kepolisian RI di LHP Polri 2018 No. 44/LHP/XIV/05/2018, audit BPK mencatat pengadaan intelijen senilai Rp685 miliar yang dilakukan tanpa tender terbuka. Investigasi ICW melalui Opentender.net mengungkap proyek Zero-Click Intrusion System senilai Rp149 miliar yang dimenangkan PT Radika Karya Utama.

Alat ini memiliki kapabilitas mirip Pegasus, meskipun Polri membantah membeli produk NSO Group secara langsung. Memasuki tahun 2019, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada LHP BSSN 2019 No. 20/LHP/XVIII/04/2019 BPK menemukan Rp420 miliar belanja infrastruktur siber dengan realisasi rendah, output tak terbukti, dan perencanaan lemah.

Lalu pada tahun 2020, Polri, Kementerian Pertahanan, BSSN di IHPS I 2020 No. 24/LHP/XVIII/06/2020 audit semester pertama tahun 2020 mencatat Rp19,40 triliun belanja modal bermasalah di 87 K/L. “Polanya seragam, penunjukan langsung, spesifikasi samar, dan output tak terukur. Inilah tahun ketika istilah “peralatan taktis” atau “sistem intelijen” menjadi payung sempurna untuk menyamarkan spyware,” kata Iskandar.

Memasuki tahun 2021, Badan Intelijen Negara pada LHP BIN 2021 No. 13/LHP/XVIII/02/2021, BIN menganggarkan lebih dari Rp1 triliun untuk alat intelijen digital, tapi audit BPK hanya menyentuh aspek administrasi. Pengadaan substansial ditutup rapat dengan alasan “rahasia negara,” menjadikan BIN kotak hitam belanja teknologi.

Di 2022, Polri dan Kementerian Pertahanan terlihat di LHP Polri 2022 No. 15/LHP/XVIII/02/2022, audit BPK menunjukkan pembelian perangkat pengawasan senilai sekitar Rp1,1 triliun. Masuk tahun 2023 BSSN di LHP BSSN 2023 No. 20/LHP/XVIII.BDG/03/2023, belanja Rp310 miliar untuk deteksi ancaman digital menghasilkan laporan nihil. Temuan BPK menyoroti output tak terukur, integrasi lemah, dan laporan pemanfaatan tidak ada.

Lalu pada tahun 2024–2025, Kejaksaan Agung berdasar data LPSE dan investigasi TTI menemukan total belanja intelijen mencapai Rp5,78 triliun. “Investigasi Transparansi Tender Indonesia itu temukan tender-tender formalitas, termasuk proyek Rp300 miliar dengan selisih harga hanya Rp20 juta dari pagu,” paparnya.

Terkait aksi unjukrasa anarkis sepekan terakhir, IAW menegaskan, Presiden Prabowo menerima imbas buruk kerusuhan Agustus 2025. Beberapa laporan menyebut tujuh orang meninggal dunia akibat rangkaian demonstrasi antara tanggal 25–31 Agustus 2025, termasuk Affan, driver ojol.

Penahanan sekitar 2.000 orang diamankan. Perusakan bangunan dan infrastruktur sebanyak 37 gedung DPRD di berbagai daerah telah dibakar atau mengalami kerusakan parah. “Ada infrastruktur rusak, halte TransJakarta terbakar, layanan bus dan MRT terganggu, fasilitas tol rusak, serta gedung bersejarah di Jawa Timur dibakar serta infrastruktur transportasi mengalami vandalisme dan pembakaran,” ungkapnya.

Dari semua kerusakan ini, IAW heran, kenapa disaat negara sudah punya gawai kelas premium yakni spyware, lawful intercept, dan sistem intelijen digital, massa pengunjuk rasa turun ke jalan, tanpa terdeteksi. Investigasi IAW akhirnya menemukan jawaban, jika pola pembelian tak transparan, menghasilkan barang yang juga berkualitas tidak baik.

Maka itu, IAW mengamin temuan BPK yang bersifat konsisten, yakni pengadaannya kerap memakai istilah samar, dilakukan dengan penunjukan langsung, outputnya tak terukur, dan itu semua yang akhirnya merongrong akuntabilitas. “Kenapa alat secanggih itu gagal melindungi pendemo dari provokator?. Karena pengadaannya kacau dan fungsinya kabur. Bukan karena teknologinya buruk, melainkan karena cara membelinya yang asal-asalan,” katanya.

Iskandar menegaskan, sudah saatnya, slogan rahasia yang kerap dijadikan tameng, dihilangkan. Kerahasiaan memang perlu untuk melindungi taktik dan keselamatan, tetapi itu bukan untuk menghapus akuntabilitas.

Atas hal ini, IAW meminta Presiden Prabowo untuk membenahi tatakelola peralatan teknologi pemerintah, utamanya yang berfungsi dalam kaitan kerja intelijen. “Jangan seperti kerusuhan kemarin yang akhirnya membuat buruk kinerja dan performa pemerintahan Prabowo di mata dalam dan luar negeri,” ujarnya.

IAW mendesak BPK turun tangan bukan hanya memeriksa kuitansi. Bentuk Satgas Audit Substantif yang berisi auditor negara plus ahli forensik digital independen.

“Perbaharui regulasi. Tutup celah, batasi penunjukan langsung untuk pengadaan teknologi sensitif. Wajib ada pembanding teknis independen, supaya tidak ada mark-up liar. Aturan “rahasia negara” harus disinkronkan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Perlindungan Data Pribadi, dimana rahasia boleh, namun impunitas tidak boleh,” pintanya.

Menurut IAW, uang rakyat harus kembali ke tujuan awal yakni melindungi rakyat, termasuk saat unjuk rasa, bukan untuk membungkamnya. “Uang rakyat seharusnya membiayai keamanan dan demokrasi, bukan membeli alat yang kemudian jadi membungkam suara rakyat,” tegas Iskandar. ***