Defisit BPJS Jadi Hutang Negara yang Harus Ditutup APBN Akibatnya Beban APBN Membengkak

Defisit BPJS Jadi Hutang Negara yang Harus Ditutup APBN Akibatnya Beban APBN Membengkak - Image Caption


News24xx.com - BPJS sedang dalam fase krusial suksesi, untuk memperbaiki carut marut pengelolaannya.Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti hal ini.

Bagi IAW, lembaga sebesar BPJS, yang mengelola nyawa dan dana ratusan triliun rakyat, digerakkan oleh proses rekrutmen yang cacat hukum, konflik kepentingan, dan tidak menjaga etika, sangatlah berbahaya.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) nekat mengambil alih peran menteri, membentuk Panitia Seleksi (Pansel) secara tidak profesional dan bahkan terkesan seenaknya tanpa memikirkan akibat jangka panjang bagi kelangsungan BPJS.Audit BPK selama satu dekade terakhir menunjukkan BPJS adalah proyek raksasa yang belum beres, karena, pernah defisit Rp125 triliun di tahun 2019, namun ditekan jadi Rp32,4 triliun di tahun 2023 setelah menaikkan iuran rakyat.

IAW menyoroti data jutaan peserta yang kacau, termasuk NIK ganda atau tidak valid.Akibatnya beban APBN membengkak. Di tahun 2024, subsidi PBI mencapai Rp53,6 triliun.

Klaim penyakit besar seperti jantung dan kanker pada tahun 2023, menelan Rp34,7 triliun, membuat arus kas kritis.
“BPJS Ketenagakerjaan ini asetnya lebih Rp500 triliun dengan surplus Rp18,2 triliun, tapi strategi investasinya konservatif dan rawan tanpa mekanisme cut-loss,” kata Iskandar Senin 8 September 2025.

IAW heran, masuknya mantan Dirut BPJS di anggota DJSN yang kinerjanya patut dipertanyakan. Bahkan ada mantan dirut yang kabur dari BPJS.

DJSN seharusnya memilih calon anggota pengawas dan direksi BPJS, bukan malah ikut menjadi calon anggota Pansel.
“Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, ini bom waktu bagi stabilitas fiskal dan pelayanan kesehatan 278 juta rakyat Indonesia. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus memutus sumbu ini sebelum meledak,” kata Iskandar.

Kajian IAW, dengan pola ini, maka secara telanjang, hukum diterabas dan keadilan dikorbankan.

Menurut IAW, Perpres nomor 81 tahun 2015 sudah jelas, di pasal 10 ayat (3–4) menyebut, hanya Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan yang berwenang mengusulkan Pansel. Di pasal 18 menyebut, anggota Pansel tidak boleh menjadi calon direksi/dewan pengawas.

“Anggota panitia seleksi BPJS Kesehatan dari unsur masyarakat, harus berpengalaman dan ahli di bidang ekonomi, keuangan, perbankan. Fakta di lapangan, DJSN mengajukan nama dengan konflik kepentingan, termasuk mantan petinggi BPJS. Bahkan mantan Dirut BPJS yang sudah kabur sebelum masa tugasnya habis masih diajukan sebagai calon anggota Pansel. Ini adalah pelanggaran etika,” tegasnya.

Dengan pola ini, IAW ragu DJSN akan obyektif mengawasi direksi BPJS yang dia pilih sendiri. “Anehnya dan miris, DJSN mengajukan pengamat yang bukan ahli yang juga pengurus sebuah organisasi pekerja,” paparnya.

Bagi IAW, anggota pansel yang pengamat, sangat bertentangan dengan amanat Perpres 81 tahun 2015, dimana anggota pansel dari unsur masyarakat adalah ahli, dan bukan sekedar pengamat.

Kajian IAW, angka defisit ratusan triliun ini adalah lampu merah untuk kesehatan nasional. Maka solusinya, penyegaran Dewan Direksi segera dan yang lebih mumpuni.

“Daripada carut marut, IAW usulkan, direksi lama disegarkan dengan direksi Baru yang lebih mampu. Biar tantangan berat di tahun-tahun mendatang, segera diatasi,” ujarnya.

IAW menilai, klaim BPJS yang terlambat, berdampak nyata bagi pasien, yakni menghadapi antrean panjang, karena rumah sakit mulai enggan melayani.Defisit BPJS jadi hutang negara yang harus ditutup APBN. Pajak untuk pendidikan dan infrastruktur terancam tersedot.

Sementara dana BPJS Ketenagakerjaan adalah tabungan masa tua buruh. Salah kelola sedikit saja, jutaan pekerja akan dirugikan.

Atas hal ini, IAW merekomendasikan lima langkah cepat dan tegas berupa,
Pertama, cabut usulan nama calon Pansel dari DJSN yang cacat hukum, dan Mensesneg menyerahkan sepenuhnya ke Menteri Kesehatan dan Ketenagakerjaan sesuai Perpres.

Kedua, audit independen total terhadap seluruh lini BPJS, dari Pansel, klaim, data, hingga investasi, serta kinerja Direksi BPJS.

Ketiga, judicial review ke MA terkait batas kewenangan DJSN dengan putusan hukum yang jelas. Beri teguran keras kepada DJSN karena terkesan bermain-main dalam pengajuan usulan calon anggota DJSN.

Keempat, transparansi total dengan mempublikasikan semua laporan keuangan dan LHP BPK.

Kelima, pelayanan tidak boleh terganggu dimana reformasi internal harus berjalan di belakang layar. Pasien tidak boleh jadi korban. Melihat permasalahan yang ada lebih ideal jika Direksi diganti yang lebih menjanjikan.

“BPJS adalah janji konstitusi untuk melindungi rakyat, bukan mainan politik. Presiden Prabowo, tolong tegakkan hukum, lindungi dana rakyat, dan pastikan semua orang Indonesia dapat pelayanan kesehatan yang layak,” pintanya. ***